Bagi orang Melayu khususnya orang Indonesia, peci hitam ini sudah tidak asing lagi. Karena tutup kepala berwarna hitam ini telah menjadi songkok nasional Indonesia.
Dari mana asal mula peci ini? Konon, peci merupakan rintisan dari Sunan Kalijaga. Pada mulanya beliau membuat mahkota khusus untuk Sultan Fatah yang diberi nama kuluk yang memiliki bantuk lebih sederhana daripada mahkota ayahnya, Raja terakhir Majapahit Brawijaya V.
Ada pula yang mengatakan peci dibawa oleh Laksmana Ceng Ho ke Indonesia. Peci berasal dari kata Pe (artinya delapan) dan Chi (artinya energi), sehingga arti peci itu sendiri merupakan alat untuk penutup bagian tubuh yang bisa memancarkan energinya ke delapan penjuru angin.
Ada pula yang menyebutnya dengan “Songkok”, kalau orang Madura mengartikannya dengan “se kosong nongko'”. Namun dalam bahasa Indonesia ada yang mengartikannya dengan “kosong dari mangkok”. Artinya, hidup seperti mangkok yang kosong. Maka harus diisi dengan ilmu yang berkah. Sementara kata Kopiah berasal dari “Kosong karena Dipuah.” Maknanya, kosong karena dibuang (di pyah). Apa yang dibuang? Kebodohan dan rasa iri hati serta dengki yang merupakan penyakit bawaan syaitan.
Sementara kata Bung Karno sendiri yang mempopulerkan peci ini mengatakan bahwa kata “peci” berasal dari kata “pet” (topi) dan “je”, kata Belanda untuk mengesankan sifat kecil. Karena peci ini dipakai oleh pekerja Bangsa Melayu. Baik dari sejarah pemakaian dan penyebutan namanya, peci mencerminkan Indonesia: satu bangunan “inter-kultur”.
Via Oke-Aja |
Dalam buku otobiografi Bung Karno yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno bercerita bagaimana ia bertekad mengenakan peci sebagai lambang pergerakan melawan penjajah. Sama halnya dengan celurit dari Pak Sakera dari Madura yang merupakan simbol pergerakan perlawan terhadap penjajah. Namun, kemudian secara perlahan Belanda merusak citra celurit menjadi simbol tradisi carok.
Di zaman sekarang ini budaya memakai peci sudah mulai ditinggalkan. Hanya segelintir orang yang mengenakannya. Itupun hanya pada acara-acara resmi. Orang-orang pada jaman ini lebih senang keluar rumah dengan kepala terbuka. Sebagian orang merasa malu menggunakan peci karena tidak kekinian katanya. Dan ada pula yang karena menganggap ribet, karena peci hitam ini tidak boleh terkena air, sebab ia akan cepat rusak dan berubah warna.
Nah, terlepas dari itu, ternyata menggunakan songkok nasional ini punya beberapa keuntungan loh. Yuk simak apa saja keuntungannya.
1. Cinta Indonesia : NKRI harga mati!
Orang yang memakai peci hitam pertanda ia cinta budaya Indonesia. Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Cindy Adams menuturkan, Soekarno pernah berkata, “Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka.” Itulah awal mula Sukarno mempopulerkan pemakaian peci.
2. Menghemat pengeluaran
Loh apa hubungannya? Ada lah. Sebab jika kamu menggunakan peci, kamu gak perlu beli minyak rambut yang mahal itu. Dengan rambut yang acak-acakan pun kalau pakai peci langsung deh kelihatan rapi.
3. Aman dari kata jones
Kok bisa? Ya bisa. Misalkan kamu lagi jalan sendiri nih. Kalau kamu gak pakai peci, orang bakal bilang, “Ciye, jones jalan sendiri”. Tapi kalau pakai peci bisa-bisa kamu dikira orang kantoran yang super sibuk, atau bahkan kamu dikira ustadz. Ya kalau ustad gak mungkin lah pacaran sebelum halal. Ya toh?
4. Obat sakit kepala
Masak sih? Biasanya dulu kalau orang sakit kepala, kepalanya diiket. Nah mending pakai peci, tuh udah ngiket kepala dengan sendirinya.
5. Lebih sopan
Via OSIS MPK SMAN 2 Cimahi |
Berbicara kesopanan memang tiap daerah berbeda-beda. Namun dengan dengan memakai peci setidaknya menjaga kerapian. Dengan kerapian itulah secara tidak langsung kita menghormati setiap orang yang bertemu, berpapasan, dan berhadapan dengan kita.
Nah, itu adalah keuntungan menggunakan peci atau songkok nasional kita. Tapi di berbagai daerah khususnya di daerah saya. Dimana di suatu wilayah bagian dari kabupaten Sumenep ini, penggunaan kopyah yang tinggi sering diidentikkan dengan “Bajingan” atau “Preman”. Sehingga saya sendiri lebih senang menggunakan kopyah dengan tinggi tidak lebih dari 8 cm.
Bagaimanapun anggapan orang tentang orang berkopyah. Kita tidak perlu malu bukan untuk berkopyah? Karena meskipun sekarang Indonesia sudah merdeka, tapi secara mental, akidah, kebudayaan, ekonomi, sampai sistem hukum sebenarnya kita sedang dijajah. Maka dengan memakai peci atau berkopyah, kita menunjukkan bahwa kita menolak penjajahan di Indonesia lahir maupun batin. Hidup Indonesia!
Mungkin hanya itu dari saya, terimakasih dan share jika di rasa bermanfaat.