Maafkan, Rohma, aku telah menyembunyikan cerita ini darimu. Bukan ku tak ingin kau membacanya, tidak. Aku hanya khawatir cerita ini membuatmu sedih, atau malah memberimu harapan-harapan kosong. Tidak, Rohma, kesedihanmu adalah kesesihanku juga. Harapanmu harapanku juga. Maaf kalau aku pernah beringkar janji padamu dan memupuskan harapanmu.
Aku tak pernah melupakan janji-janjiku, Rohma. Toh kalau pun aku tidak menepatinya, bukan berarti aku t’lah lupa atau sengaja melupakan, pun tidak pula karena bermaksud mengkhianati. Tidak, Rohma, sama sekali tidak. Kalau sedikit saja kau mau mengerti, kemampuanku pun tak dapat dipaksakan. Ke depan, aku takkan mau lagi mengumbar janji, asal jangan paksa aku untuk berjanji. Percayalah, aku selalu berusaha memberimu yg terbaik, meskipun aku tak menjanjikannya.
Jangan pula kau menanyakanku tentang hal yang sekiranya membuatmu akan memderita sakit. itu bagiku menjadi buah simalakama, tak kujawab kan membuatmu marah dan bersedih, kujawab pun hasil sama, kau marah dan bedsedih. Semoga itu hanya mimpi buruk di siang bolong, dan kupercaya kau adalah perempuan yang tangguh.
Aku sebenarnya malu pada diriku sendiri. Pula kumenghargai posisimu sebagai aktivis, tindakan macam ini pasti tidak elok dipandang. Entahalah, Rohma, banyak sekali yang ingin kuutarakan sebenarnya padamu. Tapi lagi-lagi aku khawatir membuatmu tersinggung dan marah, dan akibatnya kau memutus tali persaudaraan ini.
Bukan karena apa, Rohma. Aku hanya ingin memperbaiki diri. Aku ingin ada yang menegurku sekecil apa pun salahku. Salah tetaplah salah, jangan melihat takarannya. Selama ini mereka hanya menyuguhkan pujian-pujian yang membuatku malu sendiri. Karena pada kenyataannya diriku tak sebaik yang mereka puji.
Bukan soal cinta, Rohma. Bukan pula soal sayang. Bukan.. Mengenai keinginanku nenerjemah namamu menjadi kata “Sayang” itu abaikan saja. Itu hanya ekspektasi. Belum saatnya untuk bicara soal cinta, apalagi buang-buang waktu untuk main sayang-sayangan, itu hanya kerjaan nafsu belaka. Ada banyak tanggungjawab dan tugas kita sebagai pemuda. Kita hanya butuh senangat untuk bekerja, bukan buang-buang waktu percuma.
Namun terkadang kau keliru memahami kata-kataku itu. Kau mengira bahwa obrolan kita tiap hari di WhatsApp bukan suatu hal yang penting dan buang-buang waktu saja. Padahal bagiku menjadi motivasi dan semangat untuk bekerja lebih baik lagi. Tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Semua tergantung dari sudut mana kita dapat memetik hikmahnya. Tergantung bagaimana cara kita mempergunakannya. Sesuatu yang dinilai berguna pun menjadi tak berharga bila tak ada yang mempergunakannya.
Aku pun sadar, hubungan kita sebatas saudara layaknya adik dan kakak. Untuk sementara itu saja dulu. Tak perlu neko-neko. Karena perjalanan hidup manusia tak ada yang tahu. Kita jalani saja hari ini sebaik mungkin, belajar dari kemarin, dan membuat rencana sebaik mungkin untuk hari esok.
Kau sudah memanggilku Abang kan? Katanya kau ingin mempunyai seorang abang sejak kecil. Juga suka dengan cerita dan kelucuan tokoh Ipin dalam senetron Upin dan Ipin, makanya kau memanggilku Abang Ipin. Ah, kau ada-ada saja waktu itu.
“Harapannya semoga bisa lebih dari teman, seperti abangku yang bisa mendidikku lebh baik lagi. Tegurlah jika melakukan salah. Berikan tamparan kata-kata juga gapapa kok supaya aku bisa sadar jika salah. Yahh, Kamu bukan Syamsul Arifin yg aku kenal dulu, yang keliatannya cuek dan serius. Bang Ipin yang humoris tapi orangnya bijaksana dan sering melontarkan kata-kata yang bijak. Sehingga memberikan cahaya dalam menerangi kegelapan,” katamu waktu itu dengan lebaynya.
“Hahahaha… iya in syaa Allah aku akan menjadi Abang yang baik kok. In syaa Allah kita akan sama-sama menuju pribadi yang lebih baik,” jawabku sambil tertawa lebar.
Ada sekian banyak teman-temanku yang memanggilku abang. Teman-teman SMA-ku hampir semuanya memanggil abang, teman kuliah, teman kos beserta tetangganya juga, di rumah pun juga begitu, hampir semuanya memanggil abang. Tapi dari sekian banyak yang memanggilku abang, hanya panggilan abang darimulah yang paling berkesan.
“Semoga kamu tetap menjadi abangku, Abang Ipin kesayanganku.”
Jujur aku sekan melayang karna ucapanmu itu, pikiranku pun kemana-mana. Tapi aku tetap mencoba berpikir realistis, wajar saja kau menjadikanku abang kesayangan, bukankah tiada salahnya kita menyayangi seseorang? Tinggal bagaimana kita dapat memposisikan diri. Sebagai saudara, teman, sahabat, keluarga maupun kekasih. Bukankah memang seharusnya dunia ini kita penuhi dengan kasih sayang. Sebab jikalau kebencian yang menebar dimana-mana, maka siap-siaplah akan datang kehancuran.
Begitupun denganku, aku akan menyayangimu sebagaimana layaknya seorang abang. Walaupun tidak semua yang kuberikan selalu menyenangkan. Nah, tak salah kan kalau aku berkeinginan untuk menterjemah namamu menjadi Sayang? Meskipun tak salah, tapi rasanya tak mungkin kulakukan, sebab pasti akan ada banyak yang salah paham.
Biarlah, Rohma, aku tetap akan belajar mengeja namamu dengan kata R-O-H-M-A. Sesulit apa pun, itu hanya rintangan. Bukankah kau selalu mengajariku agar tidak mudah mengeluh? Tetap tersenyum walau hati sedang runtuh.
Kau telah mengajari banyak hal dalam hidupku. Termasuk tentang mensugesti diri sendiri. Waktu itu malam harinya aku mimpi buruk, tapi selalu ku sugestikan pada diri sendiri bahwa aku bisa dan semua akan baik-baik saja. Alhasil, kau benar. Hariku waktu itu menjadi lebih berwarna. Hingga kau kuibaratkan pelangi yang punya banyak warna.
“Penuh warna kayak pelangi. Habis hujan terbitlah pelangi. Tapi tidak usah nunggu hujan baru ada pelangi, malah pelangi bisa di buat sendiri,” katamu padaku.
“Pelangi itu bisa di lihat di kaca yang dikasih air, terus bisa di gambar, terus bisa lewat angan khayalan, bsa di lihat di mana saja. Malah mata kita sendiri bisa menghasilkan pelangi, ya karena semuanya tergantung dari kita yg mau kita lihat,” jelasmu panjang lebar padaku.
“Bisa muncul di khayalan? Wah, kalau aku menghayal malah bukan pelangi yang muncul,” sanggahku.
“Muncul apa emang? Kan tergantung permintaan pikiran,” tanyamu penasaran.
“Muncul kamu, haha.”
“Kok bisa?”
“Gak bisa deh, perkataan ditarik, hehe.”
“Jangan coba bohongin aku ya, hayo kenapa kok bisa?” paksamu.
“Iyaaa… soalnya kamu indah seperti pelangi, hahaha,” jawabku sambil menutup wajah dengan kedua tanganku.
“Hahaha, kamu sehat ta, Bang? Tidak sedang menghibur dan bercanda kan?”
“Aku sehat kok, sadar juga, tidak sedang tidur dan gila,” jawabku mantap.
“Haha… kamu kenapa sih?” tanyamu sambil terkekeh-kekeh.
“Kenapa? Aneh ta?”
“Iya kamu aneh, bisa dijelasin lebih detail tidak?”
“Wah, kok aku diinterogasi.”
“Hehe, makanya kalau jelasin jangan separuh-separuh, ayo donk jelasin!”
“Intinya ya pelangi itu indah,” jawabku singkat karena fikiranku yang seakan mulai buntu.
“Gak ngerti.”
“Loh, kok masih gak ngerti sih?”
“Bahasamu terlalu tinggi, aku tak bisa memahami.”
“Jangan pura-pura gak ngerti deh,” jawabku mulai mengernyitkan dahi.
“Ayo dong, Bang, jelasin!” katamu mulai memelas.
“Wah, bagaimana aku harus menjelaskan… ya intinya kau adalah pelangi hidupku dah. Hahaha, udah gitu aja deh.”
“Hahaha, suhu badanku langsung dingin seketika, padahal tadi aja msih panas banget. Hahaha, kamu, Bang, ada-ada aja ya,” jawabmu sambil terkekeh.
Kalau sedang sama-sama punya waktu luang ya begitulah, ada saja percakapan yang menghibur disela kepadatan aktivitas kita.
Bersambung ke Part berikutnya.