Rohma, barangkali kau belum mengenalku. Memang tak ada gunanya berkenalan denganku. Aku tahu padamu bukan karena berkenalan kan? Berjabat tangan dan berucap salam? Ah tidak, itu hanya ekspektasi. Nyatanya aku tahu namamu hanya dari seseorang yg memanggilmu. Tapi rasanya senang sekali, aku bisa tahu bahwa kaulah yang bernama Rohma. Sebab namamu yang tersimpan di kontak ponselku, hanya menjadi bayang semu saat kau memgirim pesan singkat padaku, dengan sedikit segan dan kaku.
“Assamulaikum, suratnya sudah selesai di-print, kapan bisa minta tanda tangan?” tanyamu singkat.
“Kapan pun saya bisa,” jawabku tak kalah singkat.
Begitulah, hanya itu, tak ada balasan lagi. Walaupun waktu itu kau adalah sekretarisku, tapi percakapan kita hanya sampai di situ saja, sebatas sebegitu saja.
Aku tak dapat mengingat dengan jelas bagaimana lekuk wajahmu. Aku pun juga sudah lupa manis senyummu dan sedap pandanganmu. Yang jelas aku hampir lupa semuanya. Kala itu aku melihatmu sekilas saja. Aku tak berani menatapmu terlalu lama. Aku malu, jelas aku malu sekali. Menilik pakaianmu, kau adalah perempuan shalihah yang pasti akan risih dengan pandangan lelaki yang menatapmu.
Jilbabmu lebar dan berwarna biru dongker. Mungkin itu warna kesukaanmu, entahlah tiap kali aku melihat perempuan berjilbab biru dongker, kuselalu mengiramu. Hanya itu yang aku ingat, lain daripada namamu yang terores di hatiku.
Sejak itulah, aku makin penasaran denganmu. Kubuka facebook, kuketik di kolom pencarian dengan namamu. Kesentuh link profilmu, dan kulihat foto-fotomu hampir semuanya. Tapi belum mengobati kepenasaranku, bahkan membuatku semakin penasaran. Kau benar-benar misterius, Rohma. Kau tak pernah menampakkan wajahmu sekalipun di media sosial facebookmu. Foto-fotomu tidak pernah menghadap pada lensa kamera, tapi jilbab biru dongker itulah yang membuat aku yakin bahwa itulah kamu, Rohma. Walaupun aku belum dapat memadukan dengan lekukan wajahmu.
Ada banyak perempuan yang memakai jilbab biru dongker yang ketemui, tapi lekukan wajah dan jilbab biru dongker yang kau kenakan seakan tak ada duanya. Entah aku sulit sekali mengingatnya. Aku tak dapat menggambar wajahmu secara jelas dalam anganku, tapi kalaulah aku melihat paduan antara lekukan wajah dengan jilbab lebar biru dongker itu pasti aku akan dapat mengenalmu dengan baik.
Pernah sekali kubertemu denganmu di sebuah tempat fotokopian, lagi-lagi aku melihatmu menggenakan jilbab lebar biru dongker, dipadu dengan lekukan wajahmu mendesirkan hatiku. Maaf aku tidak menyapamu waktu itu. Bukan sombong atau pun jaim dan lain-lain, tapi aku bingung harus menyapamu bagaimana. Aku takut salah mengeja namamu, aku khawatir malah memanggilmu dengan “Sayang”. Ah tidak, Rohma. Kau pasti bakal marah besar padaku.
Sesekali aku hanya memperhatikanmu bercakap pada penjaga fotokopi itu. Bicaramu halus sekali dan hanya beberapa kali kecapan, tapi Penjaga Fotokopi itu seperti mengerti akan maumu. Pandanganmu lurus ke depan, atau paling tidak ke bawah. Kau memang perempuan yang selalu menjaga pandangan. Maafkan aku, Rohma, aku telah telah menjadi lelaki yang lancang melihatmu.
Aku hampir tidak percaya saat kau berencana untuk bertandang ke rumahku. Kukira itu hanya mimpi di siang bolong, tapi ternyata tidak, kau telah menjadikan mimpi itu menjadi nyata. Aku sempat khawatir tidak mengenalimu lagi, tapi jilbab lebar biru dongker yang dipadu dengan lekukan wajahmu selalu membuatku mengenalimu dengan baik. Lagi-lagi kau menggenakan jilbab lebar biru dongker. Benar-benar seperti mimpi, walau berkali-kali ku menampar pipi, dan sakit.
Sampai saat itu juga aku masih belum dapat mengeja namamu dengan benar, wajar aku tak pernah memanggil namamu saat di rumahku. Aku selalu menunggu kau melihatku saat hendak memulai bicara. Entah lidahku seakan kelu untuk memulai bicara denganmu, mungkin karena terlalu kikuk, bahagia, dicampur rasa tak percaya bahwa hari itu aku duduk satu tikar bersamamu.
Maafkan, Rohma, kalau aku tak dapat menyambutmu dengan baik. Pula tak ada jamuan dan hidangan lezat untuk memgganjal perutmu. Atau tak ada pembicaraan yang membuat percakapan kita lebih berwarna. Maaflan pula kalau aku telah memperkenalkan kau pada adikku sebagai sosok seorang ustazah. Karena menurut perkiraanku, adekku cocok memanggilmu sebagai ustazah.
“Dek, kamu kanal gak sama dia? Itu loh yang kemarin kamu ajak kenalan di telepon?” bisikku pada adikku yang duduk dalam rangkulanku.
“Iya, inget,” jawab adekku seraya memecah tawanya.
“Dia itu Ustazah Rohma, iya dia seorang ustazah, kamu panggil ustazah ya sama dia,” pintaku diiringi tawa adikku.
“Lihat tuh, jilbabnya lebar kan? Kalau ustazah biasanya kan jilbabnya begitu,” jelasku pada adikku.
“Iya, ya,” jawab adik mempercayaiku.
Tiba-tiba…
“Plaaaaakkk…,” kau melempariku dengan jajan yang dibelikan ibu untukmu.
“Yang bener dong kalau ngasih tau sama adeknya, masak adeknya diajari gak bener sih,” ucapmu ketus sambil kemudian tersenyum manja.
Kalau aku ingat saat-saat itu, aku jadi senyum-senyum sendiri. Ingin sekali ku mengulanginya lagi. Kuharap kau tidak pernah jera untuk datang ke rumahku sebagaimana pesan ibuku padamu.
“Kan sudah tau toh rumahnya Ripin sekarang, ya beginilah kondisinya, jangan pernah kapok untuk datang kemari,” kata ibuku padamu kala itu.
Kau tersenyum sambil menjawab ala kadarnya. Tapi aku malah memandangnya sebagai percakapan mesra antara kau dan ibuku.
“Kalau mau rujak mangga, aku ambilin ya,” ibuku menawarkan.
“Atau dibawa pulang aja nanti yah?” sambungku.
“Mau dikasih berapa emang? satu pohon ta?” candamu.
“Hehe, yaudah entar bawa pulang sama pohonnya,” balasku sambil tertawa lebar.
Sekilas mungkin percakapan itu tidak lucu, tapi setidaknya telah memacah sunyi ruangan tamu yang tak kondusif itu. Aku beranjak keluar untuk mengambilkanmu mangga dibelakang rumah. Sedang kau kutinggal bersama ibuku. Entah apa saja yang telah kau bicarakan dengan ibuku, hanya ku melihatnya mesra sekali.
“Itu mangganya terlalu banyak,” katamu saat aku membawa kresek penuh mangga.
“Gak papa, di bawa saja, maaf ya di sini cuma mangga adanya,” ucap ibuku.
“Dikurangi napa mangganya,” selamu sambil rada memelas.
“Mangga ini jumlahnya ada 6. Itu melambangkan rukun iman. Mudah-mudahan kita dapat meningkatkan keimanan kita,” kataku beralasan agar kau menerima semua mangga-mangga itu.
Kau tau, Rohma, meskipun banyak sekali introgasi padaku atas kedatanganmu, jujur aku senang sekali kau sudah meluangkan waktu untuk memenuhi janji dan harapanku.
“Itu pacar kamu tadi yah?” tanya salah seorang pamanku.
“Hehe, bukan, Om.”
“Kenapa? Dia cantik kok,” bantahnya.
“Hehe,” jawabku dengan tawa dan senyum saja, karena tak tau bagaimana menjawabnya.
Tapi, Rohma, sejak pertemuan itu, sikapmu jadi berubah padaku. Kau seperti sengaja mengindar dariku. Balasan chat-mu di Whatsapp makin hari kian judes. Entahlah, mungkin kau kecewa padaku. Jangan kau bersembunyi dibalik senyummu itu, Rohma. Aku tidak sanggup. Berterus teranglah padaku, agar semuanya menjadi jelas. Kalau pun kau memang bermaksud tidak mau mengenalku lagi, tidak apa. Agar aku pun bisa memgakhiri cerita ini dengan memaras wajahku yang sok tegar, karena sebanarnya aku pun tak ingin mengakhiri cerita ini. Aku ingin cerita ini terus berlanjut entah sampai kapan, sampai di surga mungkin.
Selanjutnya Ajari Aku Mengeja Namamu (Part 2)