Saya kembali tertarik menulis tentang hal ini karena saya melihat belakangan ini banyak orang yang sibuk untuk mengkritik, menghina, menjelekkan orang lain karena sebatas like and dislike. Bukan melihat baik tidak baiknya.
Terkait bahasa gaulnya para aktivis dakwah yang ber-ana antum akhi unkti itu, sebenarnya bukan hal yang urgen untuk dibahas apalagi diperdebatkan. Akan tetapi ada sebagian kelompok yang terlalu lebay mempermasalahkan hal ini.
Soekarno pernah berkata : “Kalau jadi Hindu jangan jadi orang India, kalau jadi Islam jangan jadi orang arab, kalau jadi Kristen jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah Jadi orang Nusantara dengan Adat-Budaya Nusantara yang Kaya Raya ini.” Apa yang dikatakan Soekarno ini benar, bahwa kita sebagai bangsa Indonesia harus mempunyai identitas sebagai karakteristik bangsa indonesia sendiri dan tidak perlu meniru budaya Arab, budaya India, dan atau bahkan budaya Yahudi. Budaya islam dengan budaya arab sendiri adalah suatu hal yang berbeda. Akan tetapi yang bikin tidak elok adalah orang-orang yang teriak-teriak dengan menggunakan kata-kata bung Karno hanya karena suatu kebencian pada golongan tertentu. Mirisnya mereka hanya menggunakan penafsiran mereka sendiri terhadap kata-kata bung Karno tersebut tanpa melihat apa yang terjadi pada kenyataannya. Dengan kata lain mereka seenaknya langsung menjudge orang-orang yang menggenakan jubah, bersorban, dan berselendang dengan sebutan orang-orang yang tidak cinta NKRI.
Disamping bung Karno, ada satu lagi tokoh masyarakat, sang Guru Bangsa K.H. Abdurrahman Wahid (Gusdur) pernah berkata : “Islam datang bukan utk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya arab. Bukan untuk ‘aku’ jadi ‘ana’, ‘sampeyan’ jadi ‘antum’, ‘sedulur’ jadi ‘akhi’. Kita pertahankan milik kita, kita harus serap ajarannya, tapi bukan budaya arabnya.”
NKRI harga mati (ilustrasi) |
Lagi-lagi saya tidak mempermasalahkan perkataan Gusdur ini. Apa yang dikatakan Gusdur benar, beliau mengingatkan kepada para aktivis dakwah agar tidak hanya fashih berbahasa ana antum akhi ukhti, tetapi juga menyerap ajaran agama islamnya. Dan islam itu bukan soal berbahasa ana antum, tetapi bagaimana perilaku kesehariannya dalam bertaqwa kepada Allah SWT.
Dan cukup jelas bahwa dari kedua perkataan tokoh di atas tidak ada masalah. Cuman mungkin, saya katakan mungkin. Ada sebagian orang yang merasa lebih baik dari para aktivis dakwah yang ber-ana antum itu kemudian ingin unjuk gigi. Saya kira ini kan kelewat lebay. Mereka kemudian membuat meme dari foto Gusdur, kemudian disampingnya di berikan kata-kata yang tadi. Setelah itu di upload di BBM, jadi status WA, di unggah di Facebook, Instagram. Tak hanya itu dia juga nge-Tag para aktivis dakwah yang ber-ana antum itu. Tentu ini sangat melukai hati para aktivis dakwah. Apalagi yang pasang DP dan unggah meme itu orang ugal-ugalan yang shalat aja belum tentu.
Sekali lagi saya tegaskan bahwa saya tidak menyalahkan pendapat kedua tokoh tersebut. Apa yang dikatakan kedua tokoh (Soekarno – Gusdur) itu benar. Karena mereka berkata demikian kebaikan kita bangsa Indonesia. Tetapi yang saya temui akhir-akhir ini mereka teriak-teriak dengan menirukan perkataan kedua tokoh itu terkesan hanya karena unsur Like and Dislike. Mereka tentu tidak tau apa dasar atau landasan para aktivis dakwah itu ber-ana antum. Sehingga dengan seenak perutnya mereka menjudge tidak cinta NKRI dan tidak cinta budaya Nusantara.
Tidak ada salahnya menyerap budaya dari manapun
Selama tidak bertentangan atau menyelisihi ajaran Islam, tidak ada salahnya menyerap budaya dari manapun selama itu bermanfaat. Justru kita wajib mengganti budaya yang bahkan budaya kita sendiri pun jika itu merugikan atau menyelisihi ajaran Islam. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah dahulu, beliau berjuang keras untuk mengubah budaya Arab yang tidak sesuai dengan risalah yang beliau bawa yaitu ajaran Islam. Hal yang sama pula sebagaimana telah dilakukan oleh Dewan Dakwah Walisanga, dimana mereka berusaha menyelipkan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam budaya masyarakat waktu itu. Seperti wayang kulit yang kemudian dimodivikasi oleh Sunan Kalijaga sehingga tidak menyelisihi ajaran Islam.
Sementara dalam hal menyerap bahasa asing, di Indonesia sudah menjadi hal yang lumrah. Seperti sorry, thank you, bro, sis, yes, no, dan banyak lagi bahasa-bahsa serapan yang digunakan oleh masyarakat Indonesia. Jika penggunaan kata serapan itu tidak dilingkari, lalu mengapa kata yang obyek serapannya dari bahasa Arab begitu diingkari?
Bahasa ana antum untuk membiasakan dan mempejari bahasa Arab
Sudah tentu kita ketahui bahwa Al-Quran diturunkan kepada seorang Nabi dari Bangsa Arab. Bahasa Arab merupakan bahasa paling mulia yang telah terpilih oleh Allah SWT sebagai bahasa Al-Quran.
- “Sesungguhnya kami menurunkan Al-Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu mengetahui.”(Q.S. Yusuf : 2)
- “Dan jikalau Kami jadikan Al-Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan, “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?’ Apakah (patut Al-Quran) dalam bahasa asing sedangkan (Rasul adalah orang) Arab?”(Q.S. Fusshilat : 44)
Dalam suatu riwayat Rasulullah pernah bersabda: “Cintailah Bahasa Arab karena tiga hal : Karena aku bangsa Arab, Alquran berbahasa Arab, dan obrolan ahli surga di surga adalah bahasa Arab.” Syaikh Albany mengatakan dalam Silsilah Al-Hadiits Ad-Dhaifah, bahwa hadits ini adalah maudhu’ (palsu). Tetapi sebagian para ulama ada yang menghasankan. Namun terlepas dari hasan dhaif maudhu’nya hadist tersebut hal yang terpenting adalah memetik hikmahnya. Allah seolah-olah ingin menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa yang menyebar dan membumi bersama Islam. Hal ini dapat kita lihat dengan tidak boleh digantinya bahasa Al-Quran dan bacaan-bacaan dalam shalat (takbir, fatihah dan tahiyyat akhir) dengan bahasa selain bahasa Arab. Lantas bagaimana kita bisa memahami bacaan dalam shalat yang berbahasa arab itu jika kita tidak belajar dan membiasakan berbahasa Arab.
Al-Quran sebagai pedoman dan petunjuk hidup juga berbahasa Arab. Lalu bagaimana bisa mempelajari dan mengkaji Al-Quran jika tidak belajar bahasa Arab.
Seni dan Penyemangat Berdakwah
Bahasa ana antum diidentik dengan bahasa gaulnya aktivis dakwah. Hal ini tentu punya arti tersendiri kalangan mereka. Bahasa itu seakan menunjukkan kesatuan dan silaturrahmi dengan percakapan yang santun dan tidak kasar. Coba bayangkan bagaimana mulut dan muka orang itu ketika berucap afwan, syukran, akh, dan ukh tentu tidak bisa dilafadzkan dengan bernada kasar atau dengan marah-marah. Jadi, dengan bahasa itu akan menyelamatkan kita dengan kata-kata kasar yang cenderung menyakiti hati saudara kita.
Sebagian orang juga mengatakan, bahwa bahasa akhi, ukhti, ikhwan, dan akhwat adalah bahasa yang diskriminatif. Karena mereka menganggap bahwa yang disebut ikhwan dan akhwat hanyalah orang-orang yang sering ikut pengajian dan taat beragama Islam. Padahal itu adalah kesalahan yang besar. Para aktivis dakwah menyebut ikhwan dan akhwat tidak pada semua orang karena belum tentu semua orang suka disebut ikhwan maupun akhwat, apalagi mereka tidak tau apa artinya. Masak iya kalau dalam konser Duo Srigala bilangnya “Ikhwan Akhwat semua ayo goyang..”
Tidaklah benar bahwa istilah ikhwan dan akhwat hanya untuk orang-orang yang sering ikut pengajian. Karena ikhwan dan akhwat itu artinya saudara-saudara dan saudari-saudari. Cuman karena yang sering menggunakan istilah ini adalah para aktivis dakwah, maka mereka menggunakannya dalam aktivitas mereka seperti dalam kajian-kajian dan sebagainya. Tentu kalau dalam konser Duo Srigala itu bukan aktivitas mereka maka wajar tidak ada istilah ikhwan akhwat.
Budaya Islam dan budaya Arab
Masalah sorban dan selendang para ulama memang terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan sunnah dan adapula yang mengatakan hanya kebiasaan bangsa arab saja. Tentu hal ini tidak perlu diperdebatkan dengan mengaitkan kecintaan terhadap NKRI. Yang terjadi akhir-akhir ini adalah mereka menganggap orang-orang berjubah putih, bersorban, dan berselendang itu tidak cinta NKRI dan lebih cinta budaya arab. Bagaimana bisa mereka mengukur kadar cintanya seseorang sementara sampai saat ini belum ada alat secanggih apapun yang dapat mengukur rasa cinta.
Terlepas dari penampilan yang mereka katakan budaya arab itu atau lebih seringnya disebut ngarab atau kearab-araban, maka yang perlu kita pertanyakan adalah bagaimana dengan mereka yang juga menyerap budaya barat. Baik dari pakaian atau tingkah laku dan hiburan? Bukankah budaya barat lebih sangat tidak cocok dengan bangsa Indonesia. Mengapa yang selalu dipermasalahkan budaya yang objek serapannya dari Arab sementera dari budaya barat itu tidak pernah diungkit-ungkit? Silahkan dipikir!
Kalau budaya barat yang sudah jelas tidak sesuai bahkan bertentangan dengan norma dan moral bangsa Indonesia dapat kita serap, lalu mengapa budaya arab yang bahkan pernah dilakukan oleh Rasulullah sebagai suri teladan tidak boleh kita serap?
Pada intinya kita jangan terlalu lebay mempermasalahkan hal-hal yang tidak begitu urgen. Tugas kita adalah saling mengingatkan bukan saling menyalahkan. Tentu mengingatkan dengan cara yang benar dan tidak berpotensi menyakiti hati saudara kita. Lalu begaimana tanggapanmu? Silahkan tinggalkan komentar! Atau share jika dirasa bermanfaat!