“Jangan mengumbar kebencian!!!” teriakmu dengan lantang di media sosialmu, tapi sayangnya kami tak mendengar, kami hanya membaca dengan dahi berkerut.
Apakah kau melarang kami untuk membenci? Lalu untuk apa kebencian diciptakan. Sungguh rasa benci membuat kami tak tenang, makan tak nyaman, kerja tak aman. Sayang, benci ini sudah dari hati nurani. Apa? Lancang sekali kami bilang dari hati nurani, sementara itu mengotori hati!!!
Sungguh sebuah kebencian yang dituruti akan membuat kebencian beranak-pinak. Bahkan, nasib sial masuk jeruji besi menantimu, Kisanak. Jadi, jangan mengumbar kebencian, lalu? Umbar kecintaan, ucapkan padaku “Aku cinta kamu” misal…. eh.
Tapi rasa benci itu sudah tertanam bersama rasa cinta di hati kami. Maka izinkan kami membenci.
Membenci ketidak-adilan;
Membenci kebiadaban;
Membenci agar kami tak senang hati melakukannya, di manapun kami berada, di mana pun posisi kami, sebagai petani atau sebagai raja di negeri ini.
Ketika ketidak-adilan berkeliaran di suatu negeri (negeri antah berantah misal), apa kami harus diam? Kami telah memberi krisan (kritik saran) dengan penuh cinta dan harapan kebaikan & kedamaian. Tetapi, lagi-lagi kau menuduh kami “BENCI”. Kau melarang kami membenci, kau sendiri telah membenci, membenci “kebencian”.
Tidak fair rasanya, tapi apalah daya kami rakyat jelata, sedang kau? Kami trauma menyebutnya, kau meneror kami dengan jeruji besi. Fair gak fair, itu mesti kami terima sebagai nasib rakyat jelata.
Kami sangat mengerti dan menyadari bahwa menyimpan kebencian, sama hal nya menyimpan bangkai dalam saku. Bau busuk kebencian akan selalu tercium, maka langkah terbaik kami, adalah menguburnya bersama harapan kesejahteraan hidup kami rakyat jelata.
Salam cinta untukmu, Kisanak! (antah-berantah)
Dari sudut desa, 2019