Belum sampai terlelap, tiba-tiba berkelebat bayangan yang muncul dari lubang ventilasi di atas pintu. Bayangan itu dengan cepat menyergap Pak Sandi, tidak bisa mengelak, bayangan itu kini telah mencekik lehernya. Pak Sandi gelagapan, dia megap-megap sambil memegangi sebuah tangan yang mencekik lehernya. Tampak sebuah tangan dengan kuat mencengkram lehernya, tak diketahui siapa pemiik tangan itu, pandangan Pak Sandi menjadi gelap. Dia meronta, meminta tolong, namun mulutnya tak lagi mampu mengeluarkan suara.
Kelcekkel (ilustrasi) |
**
Pak Sandi memulai membuka mata. Isteri dan anak-anaknya menangis mengelilinginya. Di belakang, para tetangga juga berkerumun sambil sesekali berbisik dalam ketegangan.
“Arapah sampean, Nom?” tanya salah seorang keponakan Pak Sandi yang kemudian mendekat. (Kenapa kamu, Paman?)
Pak Sandi tidak menjawab, dia masih menampakkan wajah ketakutan.
“Arapak ko’ yeh?” tanya Pak Sandi. (Aku kenapa?)
“Ca’epon sampean awat-towat, pas taelang,” jelasnya pada Pak Sandi. (Kau teriak-teriak, terus pingsan.)
“Engko’ ecekkel oreng,” jawab singkat Pak Sandi, matanya menerawang ke langit-langit rumah. (Aku dicekik orang)
“Paserah se nyekkel, Nom?” tanya keponakannya dan hampir berbarengan dengan pertanyaan yang sama dari isterinya. (Siapa yang mencekik, Paman?)
“Ta’ tao ja’, Qi,” jawabnya pada Fiqi, keponakannya. (Gak tau, Qi) “Kun pera’ tanang malolo se entar ka engko’,” lanjutnya. (Cuma tangan aja yang datang padaku).
Suasana menjadi mengerikan, para tetangga juga berkonsentrasi mendengar cerita Pak Sandi. Ketika salah seorang yang lain tidak mendengar, yang lain memberi tahu dengan sepotong-potong.
“Arapah can, Bhuk?” tanya pada seorang ibu-ibu di sebelahnya. (Kenapa katanya, Mbak).
“Badha se nyekkel ca’en,” jawabnya dengan berbisik, tidak menyaringkan suaranya. (Ada yang mencekik katanya).
“Sapah se nyekkel?” (Siapa yang mencekik).
“Ta’ taoh, tanang kun ca’en. Hantu, ta’un paleng,” jawabnya sambil terlihat sedikit berpikir. (Gak tau, tanang katanya cuma, Hantu, ta’un paling)
Terdengar suara adzan subuh berkumandang di masjid dan mushalla di dekat rumah Pak Sandi. Para tetangga berhamburan pulang ke rumah masing-masing dengan membawa cerita menggerikan.
Pagi segera datang, masyarakat desa Monceng kembali beraktifitas. Aktifitas pagi ini diwarnai dengan cerita dari sebuah kejadian mengerikan. Di warung kopi, di pasar, di sawah dan tegalan, di mana tempat berkumpul terutama ibu-ibu, tak lepas dari cerita tentang ini. Cerita dari kejadian yang mulai meneror desa Ini.
Sampailah cerita ini pada Keh Bahrud, beliau salah seorang tokoh masyarakat dan tokoh agama di desa ini. Sebutan “Keh” dalam bahasa Madura adalah “Kiyai”, sebutan untuk tokoh agama. Asal katanya “Keaeh” (Kiyai), namun karena orang Madura tidak ingin ribet dalam pelafalan kata, maka jadilah “Keh”.
Keh Bahrud mencoba menenangkan warga setiap di mana beliau terlibat dalam pembicaraan cerita Kel-Cekkal tadi, beliau mencoba menjelaskan kejadian itu dari segi agama islam menurut yang beliau pelajari di pondok pesantren dahulu. Bahkan beliau memberi amalan untuk menolaknya, agar diberi perlindungan oleh Allah SWT.
Dua hari berlalu, cerita Kel-Cekkel mulai di lupakan oleh masyarakat, masyarakat kembali pada aktifitas masing-masing. Namun, ketenangan itu kembali terusik dengan sebuah kejadian yang sama dialami oleh orang yang berbeda. Kini, Kel-Cekkel kembali meneror salah seorang warga kampung ini, Pak Yusni namanya. Pak Yusni juga mengalami kejadian yang lebih mengerikan dari yang Pak Sandi alami.
Kejadian ini terjadi saat Pak Yusni melaksanakan shalat dluha, yaa shalat dluha, kejadian ini justru terjadi pada siang hari. Semakin berani rupanya pelaku Kel-Cekkel ini.
(Part berikutnya, bercerita versi Pak Yusni)
Bersambung..