Cerita dari sebuah desa nan jauh dari kota. Desa Monceng, sebut saja begitu, namanya (bukan nama desa sebenarnya). Desa ini terletak diantara dua kabupaten yang jaraknya berbanding sama. Meskipun jauh dari kota, namun kehidupan masyarakat di desa ini telah mulai berkembang menuju kehidupan modern. Lihat saja, tiang-tiang listrik berdiri dengan gagahnya di pinggiran jalan. Kabel-kabelnya sesekali ‘kretap-kretep’ memercikkan api akibat tegangan tinggi bersentuhan dengan daun-daun pisang yang overtinggi.
Kelcekkel (ilustrasi) |
Masuknya listrik ke desa Monceng, merupakan awal dimulainya perkembangan desa ini. Sejak tahun 90-an, masyarakat desa Monceng mulai menyesuaikan dengan kehidupan modern berteknologi layaknya di perkotaan. Sekarang, lihatlah! Semua penduduk desa ini mayoritas pasti memiliki satu akun facebook. Itu artinya, masyarakat desa Monceng tidak se-primitif yang kalian pikirkan, meskipun secara geografis jauh dari perkotaan.
Namun demikian, desa ini masih kental akan tradisi dan budayanya. Kepercayaan mistik masih tertanam pada kehidupan masyarakat desa ini. Aku tak ingin panjang lebar membahas lebih datail tentang desa ini. Karena cerita ini bukan ke arah itu. Tapi yang jelas, di desa ini, serta desa-desa yang berdampingan dengan desa ini seperti Desa Panjaran, Desa Jeddingan, dan Desa Larpa, akhir-akhir ini diteror dengan adanya “Kel-Cekkel”. Yah, “Kel-Cekkel”? Tau? Aku kasih bocoran sedikit ya, “kel-cekkel” adalah istilah dari bahasa Madura, benar.. desa ini terletak di Pulau Madura.
Kel-cekkel berasal dari kata “cekkel” yang kalau diterjemah ke dalam bahwa Indonesia yaitu “Mencekik” (mencekik leher). Kemudian terjadi pengulangan kata, yang kalau dalam aturan bahasa Madura menjadi “Kel-Cekkel”. Secara sederhana “Kel-Cekkel” dapat diartikan sebagai suatu peristiwa yang disebabkan oleh banyaknya orang yang dicekik lehernya. Siapa yang mencekik? Belum dapat dipastikan siapa pelakunya, bisa jadi manusia, hewan, atau makhluk halus, atau bahkan hanya halusinasi semata.
Betapa ngerinya “Kel-Cekkel”, saat sedang istirahat, atau bahkan sedang tidur, tiba-tiba ada yang mencekik leher, tak tahu siapa pelakunya dan dari mana datangnya. Menurut dari salah satu sumber, yang mencekik hanya berupa tangan tanpa tubuh. Itulah yang sedang meneror desa Monceng akhir-akhir ini.
Pagi itu, belum sempurna melek mataku dari tidur semalaman, aku mendengar sedikit keributan di luar rumah. Pembicaraan mereka tidak jelas terdengar ke telinga, tapi suara itu menandakan bahwa ada pembicaraan serius diantara orang-orang itu. Aku segera bangun, sialan.. hampir kesiangan, belum shalat subuh.
Segera aku ke tempat wudu, mengambil wudu dan shalat subuh. Setelah berdizikir habis shalat subuh, aku keluar rumah bermaksud mencari angin segar di udara pagi. Saat kubuka pintu utama, suara keributan kecil itu masih belum berhenti. Aku penasaran. Apa yang terjadi? Ada kejadian apa, rupanya aku terlalu nyenyak tidur hingga ketinggalan berita pagi ini.
Aku mencoba mendekati orang-orang itu yang ternyata adalah tetangga-tetanggaku sendiri. Aku tak berani bertanya pada mereka, mereka bicara sangat serius sekali, terlihat sedikit menegangkan, dan ada pula yang terlihat ketakutan.
“Paleng jia oreng arajha,” kata Umi Ijah, seoarang perempuan setengah tua sambil menggendong anaknya. (Palingan itu orang pakai pesugihan)
“Ma’ bisa taker mate’eh ka oreng?” tanya seoarang wanita disebalahnya. (Kok bisa sampe mau membunuh orang).
“Iyeh ekebai tumbal, ja’ reng mon oreng arajha rea oreng aslina badha e romana, keng sokmana se ajhalan,” Umi Ijah menambah penjelasan. (Ya dibuat tumbal, orang yang menggunakan pesugihan itu orangnya ada di rumah, sukmanya yang berjalan)
Aku hanya menjadi pendengar setia dari setiap percakapan serius mereka. Aku tak berani bertanya, apalagi membantah, walau sebenarnya aku setengah percaya dengan kejadian-kejadian semacam itu. Bukan berarti aku tidak percaya dengan makhluk halus yang hidup berdampingan dengan manusia seperti jin dan malaikat, namun aku hanya menganggap itu kelakuan jin untuk sekedar menakut-nakuti manusia, atau jin suruhan untuk mencelakai manusia (sihir/santet).
Malam itu, setelah shalat isya, karena penasaran dengan cerita ini, aku mendatangi Pak Sandi, dialah menurut cerita orang tadi pagi yang mengalami kejadian “Kel-Cekkel”, tapi untunglah dia masih bisa selamat. Ia pun bercerita.
***
Malam mencekam, Pak Sandi belum dapat memejamkan mata. Malam belum terlalu larut, namun suasana sekitar rumah Pak Sandi mulai sepi. Anak-anak Pak Sandi sudah terlelap dalam tidurnya, begitu pula istrinya, sedari tadi sudah mendengkur. Di ruang tamu, hanya suara hentakan jam dinding yang mengabarkan detik-perdetiknya.
Pak Sandi merasa gerah. Lehernya mulai bercucuran keringat, entah apa sebabnya. Padahal suasana malam itu sangat dingin. Angin sepoi masuk dicelah-celah ventilasi udara di atas jendela. Pak Sandi mencoba melangkah ke luar dari kamarnya menuju ruang tamu. Dipencetnya tombol swich on pada kipas angin, aneh.. kipas tidak menyala. Padahal listrik tidak sedang padam. Ia kemudian meriksa steker kipas angin pada stop kontak, baik-baik saja, tak ada kerusakan, bahkan led indikator pada stop kontak menyala.
Pak Sandi kembali duduk di kursi tempat duduk semula. Bersamaan itu, kipas angin yang semula mati, tiba-tiba hidup. Pak Sandi menoleh ke arah kipas angin yang baling-balingnya mulai berputar kencang. Belum habis rasa herannya, tiba-tiba gagang pintu bergerak-gerak seperti ada orang yang mencoba masuk dengan paksa.
Siapa malam-malam bertamu? Tidak sopan sekali, sudah bukan waktunya bertamu, bukannya panggil salam malah langsung mau buka pintu, apa mau mencuri?
Pak Sandi mencoba mendekati pintu, walau rasa takut mulai menggerogoti dirinya. Gagang pintu berhenti bergerak, bersamaan dengan kipas angin yang juga tiba-tiba mati kembali. Ia mengintip dibalik celah jendela, matanya menyorot tajam pada bagian luar pintu? Tak ada siapa-siapa. Pak Sandi lalu bergumam lirih dengan sombongnya.
“Sapah rah, maso’ mun bengal,” ucapnya, lalu membalikkan badannya, masuk ke kamar tidurnya, lalu merebahkan tubuhya. (Siapa sih, ayo masuk kalau berani)
Belum sampai terlelap, tiba-tiba berkelebat bayangan muncul dari lubang ventilasi di atas pintu. Bayangan itu dengan cepat menyergap Pak Sandi, tidak bisa mengelak, bayangan itu kini telah mencekik leher Pak Sandi.
(Masih lelah ngetik, besok aku lanjut ya)
Bersambung ke Part 2