Sore telah tiba, senentar lagi senja. Burung-burung berterbangan mencari tempat tidur untuk bermalam. Walet-walet melayang di angkasa, sesekali menukik ke permukaan danau untuk menangkap mangsa. Sedang ayam-ayam kampung satu-persatu pulang lalu masuk ke kandang yang disiapkan oleh majikannya.
Surau Ki Digambar (ilustrasi) |
Aku, belum kering keringat bercucuran di kening, pipi, hingga seluruh badan karena baru saja pulang habis bermain petak-umpet bersama teman-teman sebayaku. Terasa lengket di badan, namun aku masih duduk melepas lelah hingga keringat kering. Karena kata ibuku, jika masih berkeringat jangan langsung mandi, nanti demam, tunggu sampai keringatnya kering. Aku menurut saja, walau aku belum pernah membuktikan kebenarannya.
“Sin, cepetan mandi, udah hampir maghrib,” kata ibuku. Oh ya perkenalkan namaku Lisin, biasa dipanggil Sin. Sebenarnya nama lengkapku Mukhlisin. Tapi karena kebiasaan orang Madura lebih mudah memanggil Lisin, maka jadilah nama panggilanku Sin (Lisin).
Aku tidak menjawab, tetapi aku langsung mengambil sarung, dan menuju kamar mamdi. Memang kebiasaanku, mandi tanpa handuk. Karena memang aku tidak punya handuk, bahkan keluargaku tidak ada yang memakai handuk karena tidak mampu membelinya. Karenanya aku selalu membawa sarung saat mandi.
Selesai mandi, aku segera berpakaian rapi, memakai sarung hijau kesukaanku, baju hem lengan panjang warna putih, dan songkok hitam (kopyah) yang mulai memguning pinggirannya telah nangkring di kepalaku.
“Sin, tuh Nadir sudah mau berangkat ke surau,” ibu memberi tahuku. “Cong … Nadir, nih adiknya dibarengin. Ayo, Sin, sana berangkat.”
Lagi-lagi aku tak menjawab. Tapi aku langsung beranjak menuju Bang Nadir yang telah menunggu. Aku memang pendiam. Aku jarang bicara dan berkomentar kalau tidak penting. Aku orangnya juga penurut, tidak suka membantah.
“Nanti pulangnya bareng Nadir juga ya, Sin,” pinta ibuku. Aku hanya mengangguk dan melangkah menuju ke surau Ki Sugambar bersama Bang Nadir.
O iya, perkenalkan juga Bang Nadir, dia adalah tetanggaku. Usianya lebih tua sekitar 5 tahun dariku. Bang Nadir orangnya baik dan penyayang. Aku dianggap seperti adik kandungnya sendiri. Selisih usia Bang Nadir dengan usiaku memang lumayan jauh, namun Bang Nadir tidak pernah gengsi bersamaku dan sesekali bermain domino bersamaku. Aku pun belajar tentang banyak hal dari Bang Nadir.
Sebentar kami berjalan menuju surau, kini aku dan Bang Nadir sampai di surau Ki Sugambar. Surau itu jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya sekitar 200M. Nampak bangunan yang sudah tua terbuat dari serpihan kayu pohon lontar itu tetap berdiri kokoh menunggu. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu duri, hingga terlihat nampak seperti bolong-bolong sedikit. Di dalam surau, sebuah lampu neon tua masih memancar cahaya menembus dinding surau. Ia tampak seperti sebuah gardu atau gazebo. Namun, kami menyebutnya dengan nama “Langgar” dan ada lagi yang menyebutnya mushalla.
“Assalamualaikum,” ucap Bang Nadir saat memasuki surau. Di dalam sudah ada yang menunggu. Beliau adalah Ki Sugambar. Kami tiap malam belajar mengaji dan baca Al-Quran kepada Ki Sugambar. Beliau sudah sedikit tua, rambut dan jenggotnya mulai memutih. Namun beliau tetap semangat mengajarkan kami membaca Al-Quran. Kami pun bersalaman, mencium punggung dan telapak tangannya. Kami duduk bersandar pada dinding surau menunggu waktu maghrib tiba.
“Mana teman-temanmu yang lain, Dir?” tanya Ki Sugambar kepada Bang Nadir.
“Kurang tau, Ki, tadi Rohman sedang mandi ketika saya berangkat,” jawab Bang Madir.
Waktu maghrib tiba, beberapa masjid jauh dari timur surau kami telah adzan. Ki Sugambar menyuruh Bang Nadir untuk adzan. Bang Nadir kemudian adzan dengan sangat merdu, sampai membuatku haru.
Kami shalat maghrib berjamaah. Pada saat shalat telah mamasuki rakaat ke 3, Rohman kemudian datang dengan tergesa-gesa, kemudian shalat bersama kami sebagai makmum masbuq. Setelah shalat selesai, kami melalukan dzikir bersma dipimpin oleh Ki Sugambar. Beliau berdzikir sangat khusu’ sekali, dan lama sekali membaca tahlil. Aku, Bang Nadir, dan Rohman yang kini telah selesai shalat, mulai berbincang-bincang dan tidak ikut berdzkir bersma Ki Sugambar lagi. Bahkan kami bergurau dan bercanda di belakang Ki Sugambar.
Tiba-tiba..
Taaarrrrrr … traaasss …, Ki Sugambar menghempaskan tasbihnya ke pinggir kanannya. Tasbih mengenai tikar yang terbuat dari anyaman daun lontar itu menghasilkan suara yang keras, hingga kami semua terkejut. Benang tasbih Ki Sugambar putus, dan butiran tasbih berhamburan.
Kami mendadak diam, jantung terasa mau copot. Kami hanya menunduk, tak sanggup melihat wajah Ki Sugambar, kami membayangkan wajah beliau sedang marah. Ki Sugambar memlototi kami satu-persatu. Kami diam, tetapi kami mengerti maksud Ki Sugambar, agar tidak main-main apalagi bergurau saat sedang berdzikir.
Setelah shalat ba’diah maghrib, kami mengambil Al-Quran masing-masing. Kami membaca Al-Quran sendiri-sendiri, mengingat dan mengulang apa yang kami pelajari malam sebelumnya. Sementara Ki Sugambar masih khusuk berdzikir.
“Sin,” Ki Sugambar memanggilku. Aku mengerti, artinya ini giliranku untuk belajar ngaji (baca) Al-Quran kepada Ki Sugambar. Aku berpindah tempat duduk pada sebelah kanan Ki Sugambar. Aku pun belajar membaca Al-Quran, dengan terbata-bata aku baca ayat-ayat Al-Quran di hadapanku dengan semampuku. Sesaimpainya di suatu ayat yang agak sulit, aku mulai mengulang-ulang bacaan.
“Man … daddi …”
“Itu Lam, apa Dal?” tanya Ki Sugambar.
“Man … Mann .. ”
“Man … dall … ”
“Man dallu,” bacaku.
“Itu Lam-nya harokat apa, Sin?”
“Fathah …” jawabku.
“Kok fahtah, sih? Itu ada bulat-bulatnya,” suara Ki Sugambar makin keras. Aku membayangkan wajah Ki Sugambar mulai kesal.
“Dlammah,” ucapku mulai gemetar.
“Terus di baca? …”
“Man … Man … ,” lidahku tiba-tiba kelu, entah karena semakin takut dan sedikit gemetar.
“Man … dalla …, yang benar donk bacanya, jangan gemetar,” ucap Ki Sugambar dengan sangat nyaring sekali di dekat telingaku. Aku menjadi gemeteran, keringat dingin mulai bercucuran.
“Mann Dulla,” bacaku gemetar dengan suara “ngeliur” bagai kaset pita terkena minyak goreng.
“Astaghfirullah, kok malah Man Dulla,” ucap Ki Sugambar dengan geram. Beliau menangkap kuping kiriku lalu menariknya tinggi. Aku yang merasakan sakit, terpaksa mengikutkan keplaku ke atas. Sementara Bang Nadir dan Rohman tertawa terbahak-bahak. Wajar saja, Man Dulla adalah nama tetanggaku. Dia aslinya bernama Abdullah, tapi karena orang Madura tidk suka nama yang sulit diucapkan, maka dia dipanggil Man Dulla (Paman Abdullah).
Semtara aku, tak bisa kubendung, air mata ini mulai jatuh mengalir di pipiku, bercampur keringat dingin hingga bermuara di bibirku. Kurasakan, sedikit asin. Namun, aku tak peduli. Batinku sangat bergejolak, antara malu dan takut.
“Kok malah ketawa? Lucu? Nanti di suruh baca gak tahu,” kini Bang Nadir dan Rohman yang dimarahi oleh Ki Sugambar. Mereka seketika diam menunduk. Suasana menjadi hening, aku mulai sesegukan menahan tangis yang kian membuncah. Bukan karena rasa takut, tetapi ada rasa penyesalan dalam batinku. Mengapa aku begitu bodoh, bahkan sampai usiaku yang saat ini mulai menginjak usia 4 tahun ini belum bisa lancar membaca Al-Quran. Ku akui, akhir-akhir ini aku sering bermalas-malasan pergi ke surau.
***
Begitulah cara guru kami mendidik, memang agak sedikit keras, tetapi kami menyadari itu demi kebaikan kami. Kami tetap tunduk dan hormat kepada beliau. Kami sadar setiap amarah beliau adalah karena kesalahan kami. Karena itulah, kami tak pernah mengadukannya ke orang tua kami, atau bahkan ke polisi. Sebab jika itu kami lakukan, bukan pembelaan yang kami terima, tetapi amarah orang tua pasti juga bakal kami terima, atau bahkan dengan konsekuensi, kami tak diberi uang saku untuk sekolah selama seminggu.
Ya Allah, berikan rahmat kasih sayangmu kepada guru ngaji kami, guru alif kami.
Bersambung …