Masih tentang perempuan. Kau tahu, aku tak pernah bicara soal perempuan bukan berarti aku tidak normal apalagi masuk lingkaran gay dan kawan-kawan. Sungguh, aku trauma bicara soal perempuan, pengalaman pernah nge-bucin saat SMA menjadikanku kapok super kapok bicara tentang perempuan. Perempuan hanyalah bala rintangan meraih cita dan kesuksesan, sumber memalukan, walaupun wanita sering disalahkan pahamkan sebagai makhluk lemah, nyatanya ia mampu memutus ulat malu kaum adam.
Sejak saat itu, muak rasanya, walau tidak semua perempuan demikian, sama halnya dengan kau mengakatan “semua lelaki adalah sama”. Tetapi, biarlah yang lalu menjadi benalu. Nyatanya aku salah, “semua perempuan tidaklah sama”. Dialah perempuan dibalik tabir, yang tiada pernah terhenti dipikir, karena di hati “namanya” telah terukir.
Ya, sebatas nama itu yang kutahu. Selebihnya tidak. Itulah pandainya syaitan, atau kehendak hafsu belaka. Betapa pun tebalnya tabir, lama-kelamaan bobol jua.
Setidaknya aku tahu namanya, agar setiap berdoa kesebut dengan khidmat. Berharap ridha-Nya dengan jalan yang sebaik-baiknya.
Ting … satu pesan masuk, saat aku sedang berjalan kaki pulang dari kampus. Kulihat pengirimnya adalah nomor baru yang belum tersimpan di kontak hapeku.
“Assalamualaikum, Akhi, afwan ganggu … ana Ziadatur Rahmah. Kapan ana bisa minta ttd?” Bagai mendapat durian runtuh, senang bukan main mendapat sms darinya. Hampir saja aku menambrak tiang listrik karena jalan sambil mentengi HP. Entah dia mendapat nomorku dari mana dan siapa.
Baru saja kami mengadakan rapat kepanitiaan, dia ditunjuk sebagai sekretarisku. Cepat kubalas sms-nya.
“Kapan pun saya bisa, Ukht.” Balasku. Sayangnya, tak ada balasan lagi setelah itu. Kusimpan nomornya di kontak google-ku karena khawatir nanti hilang, susah aku mendapatkannya kembali.
Berbulan-bulan bahkan lebih setahun lamanya, aku dan dia tak pernah lagi terlibat percakapan baik di chat, telepon, apalagi bicara langsung. Tidak pernah. Aku tahu dia masih menyimpan nomorku, buktinya aku bisa melihat story WA-nya, dia pun juga sering melihat story WA-ku. Tak pernah saling komentar. Dia tak pernah upload foto-foto dirinya, tak pernah selfy-selfy, bahkan sampai saat itu aku belum tahu lekuk wajahnya. Dia pandai bersembunyi dibalik tabir, ah benar-benar bikin penasaran.
—
Pagi itu aku membaca berita di salah satu web berita ternama di negeri ini, tentang stereotipe kampung pengemis dekat daerah tempat tinggalku. Karena menarik, ku-capture dan jadikan story WA dengan sedikit memberi komentar. Terkejut dan senang, selang beberapa menit perempuan itu mengomentari story WA-ku.
Kami terlibat dalam sebuah diskusi, dengan hati-hati kubalas chatnya. Sebelum dikirim kubaca berulang kali, takut ada salah kata yang bikin dia illfeel. Dia tertarik dengan kampung pengemis dan bermaksud untuk dijadikan skripsi.
Sejak saat itu, kami selalu terlibat percakapan, walau hanya saat ada hal penting, dan itu pun hanya melalui WA. Hingga kami sama-sama lulus kuliah.
Sebenarnya aku berniat melamarnya, namun aku ragu, karena sampai saat ini aku belum mendapatkan pekerjaan yang mapan. Berulang kali melamar pekerjaan di mana-mana, tapi nihil. Untuk sementara, aku hanya menjadi seorang guru honorer di sebuah lembaga pendidikan.
“Akhi, kapan mau main ke rumah?” Tiba-tiba ada chat WA. Hmm … apa maksudnya main ke rumah?
“Insyaa Allah kapan-kapan, Ukht,” balasku.
“Sekalian bareng orang tuanya, ya,” hah, apa ini artinya sebuah kode keras untukku. Belum sempat aku balas chatnya karena tertegun, sebuah chat lagi menyusul.
“Akhi, ana kasi waktu hingga akhir bulan Desember nanti, kalau akhi tidak datang, saya terpaksa akan menerima orang lain,” seketika keringat dinginku bercucuran. Tak tahu harus bagaimana membabalasnya. Bulan desember nanti, berarti tersisa 5 bulan lagi. Antara senang dan cemas, karena diri ini sebenarnya belum siap secara materi. Mengingat, kondisi perekonomianku dibawah rata-rata. Tetapi, jika aku melepaskannya, akan terasa sulit bagiku menemukan perempuan sebaik dirinya, akhlaknya yang cantik, dan daya hidupnya yang sederhana.
Dan satu lagi, dia adalah perempuan yang tidak pernah ada kata gengsi untuk meminta maaf, setiap kesalahan kecil akan selalu berakhir dengan kata maaf. Itu yang sangat aku suka dan membuatnya beda dengan perempuan lainnya. Sebab seumur-umur aku kenal dengan banyak perempuan, sulit bagi perempuan untuk meminta maaf duluan, karena pada prinsipnya pasal 1 perempuan itu selalu benar, pasal 2 jika perempuan salah kembali pada pasal 1.
Menyia-nyiakannya akan menjadikanku sebagai lelaki paling bodoh di dunia ini.
“Tapi, afwan, saya belum mapan, Ukht, saya hanya seorang guru honorer,” balasku, tak lupa kuakhiri dengan emoticon sedih.
“Kenapa berfikir masalah itu, Akh, pernikahan itu tidak perlu mewah, yang penting sah. Soal ke depan, kita bisa jalani bersama, kita bisa berjuang bersama, kita punya Allah yang maha kaya, kenapa kita begitu khawatir miskin?” Jujur saya sangat senang dengan jawabannya, haru dan bercampur sedih.
Bersambung ke Part 3